Penulis adalah Hatta Bachtiar (Tata)_Kuwatno. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Jejak-Jejak Meraih Mimpi Part 1

Jejak-Jejak Meraih Mimpi

Hari ini entahlah ada angin apa tiba-tiba saja aku ingin menulis sebuah perjalanan hidupku terutama yang kutuliskan di sini adalah pengalaman-pengalamanku dalam meraih mimpiku meskipun sampai saat ini belum begitu aku rasakan apakah aku sudah menemukan mimpiku ataukah belum tapi aku yakin aku pasti meraihnya.

Perkenalkan namaku Kuwatno, aku lahir dari 3 bersaudara, aku anak yang pertama dan kedua adikku adalah Yati dan Ukhti. Mereka bisa dibilang anak kembar karena mereka lahir relatif bersamaan meskipun dari fisik mereka sangat berbeda. Mereka berjarak 6 tahun dari usiaku sehingga saat aku lulus dari SD mereka kemudian masuk ke SD. Aku biasa dipanggil Watno sama teman-temanku di sekolah, meskipun demikian ketika di kampung halamanku bukan panggilan nama asliku yang aku dengar tetapi aku lebih akrab dipanggil Tata (ini dari kata Tabah yang di ambil suku kata pertamanya yang diulang sebanyak dua kali) aku dipanggil Tata, baik itu sama orang tuaku sendiri ataupun sama temanku di kampung. Aku lahir di Purbalingga tepatnya di sebuah desa yang jauh dari kota, dekat gunung yaitu desa Tlahab Kidul yang dulunya rumahku beralamat di Rt 03/03 tapi sekarang sudah ganti jadi Rt 03/05 yang masuk wilayah kecamatan Karangreja di kabupaten Purbalingga. Aku lahir sekitar pukul setengah enam pagi kata mamaku Karti, tepatnya pada tanggal 22 Oktober 1992. Saat aku lahir ayah sedang tidak di rumah, Beliau Sukardjo sedang berada di perantauan Jakarta, itulah asal singkatnya aku dipanggil Tabah karena mamaku yang tabah, beliau melahirkan tanpa ada ayahku di sampingnya, mama yang begitu sabar dan kuat, lah dari asal peristiwa itulah aku diberi nama Kuwatno yang dalam arti bahasa Indonesianya adalah kuatkanlah yang memiliki makna nasehat dari keluarga mama saat itu agar mama tabah, sabar dan kuat.

Sekarang aku bersekolah di sebuah sekolah Islam yang setingkat dengan SMA yaitu Madrasah Aliyah Negeri Purbalingga yang terletak di kota Purbalinggga tepatnya di Purbalingga Wetan di jalan S. Parman No. 150 Purbalingga, di samping kantor BKKBN dan di depan kantor kelurahan Purbalingga Wetan dan dekat juga dengan kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga,  berdekatan juga dengan SMK Muhamadiah 1 Purbalingga, Kantor Dinas Kehutanan Purbalingga, dan Kantor Catatan Sipil.

Aku mengawali dunia pendidikanku langsung di SD tanpa melalui masa sekolah di TK (Taman Kanak-kanak) terlebih dahulu seperti teman-temanku yang lain pada umumnya padahal dulu aku sangat ingin seperti teman-teman yang masuk TK, tapi aku tahu sekarang ternyata karena ekonomilah orang tuaku tidak mampu membiayaiku sekolah di TK lagipula dulu masuk SD tidak wajib harus TK terlebih dahulu. Aku masuk di sebuah SD Negeri di desaku yang terletak di perbatasan desa Tlahab Kidul dengan Desa Tlahab Lor, tepatnya di dekat sebuah perempatan jalan kecil di kampungku yaitu SD Negeri 1 Tkahab Kidul. Kenangan saat pertamakali  aku masuk sekolah, ternyata hanya akulah satu-satunya siswa yang tidak masuk TK terlebih dahulu dan apa yang terjadi aku mendapat sambutan ejekan dari teman-teman di kelas meskipun setelah beberapa minggu ahirnya aku dan teman-teman bisa saling menyesuaikan. Ayahku pernah bilah juga bahwa kesiswaan sekolah sempat menolak saat aku didaftarkan di sana katanya banyak anak-anak yang sudah pada TK terlebih dahulu saja banyak yang masih belum bisa menyesuaikan pelajaran sekolah dasar apalagi aku yang hanya belajar membaca, berhitung dan menulis dari ayah tanpa tahu seperti apa rasanya belajar di sebuah taman kanak-kanak ditambah lagi saat itu akulah siswa yang paling muda dikelas 1 yang menambah kekhawatiran kesiswaan sekolah yang takut nanti aku tidak bisa menyesuaikan dengan pelajarn sekolah dasar dan juga dengan naka-anak yang lain yang sudah TK, tapi kemudian ayahku bersikeras sampai ahirnya aku bisa masuk SD dengan syarat khusus. Aku diminta membaca, menulis dan berhitung beberapa soal penjumlahan dan pengurangan yang membuat kesiswaan sekolah tidak percaya kalau aku bahkan bisa membaca tanpa mengeja suku kata dari tiap-tiap kata yang aku baca dimana saat itu hanya beberapa anak sajalah yang sudah mampu membaca tanpa mengeja suku katanya di kelas 1. Waktu berjalan begitu saja mengiringi langkah perjalanan hidupku sampai begitu banyak lukisan-lukisan hidupku selama ini. Aku lulus dari SD pada tahun 2004 tepatnya pada tanggal 30 Juni 2004 ijazah SD itu diberikan dengan berahir pada peringksat 3 dikelas. Pada saat ahir kelas 6 itulah aku baru mulai mersakan arti sebuah pendidikan dan aku tak ingin berada di posisi peringkat 3 untuk jenjang di SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama) yang sekarang namanya adalah SMP. Saat itu untuk melanjutkan ke SMP hanya ada dua pilihan sekolah yang terdekat dari kampung yaitu di SLTP Negeri 1 Karangreja yaitu tepet di dekat kantor kecamatan Karangreja atau di SLTP Negeri 1 Bobotsari dimana kedua sekolah itu berjarak skitar 7 KM dari rumah. Tapi ternyata Allah masih punya rencana lain karena orangtuaku secara terang-terangan mengatakan padaku bahwa mereka tidak sanggup membiayai sekolahku ke SLTP. Itulah pertamakalinya aku mersakan sebuah kekecewaan dalam dunia pendidikanku. Aku tidak bisa  menyalahkan mereka, aku mencoba berpikir lebih dewasa saat itu. Aku menyadari adik-adikku juga harus sekolah, aku tidak boleh egois karena kemampuan orangtuaku yang hanya sebatas itu. Seperti yang aku katakana di awal tadi, kedua adikku berjarak 6 tahun dari aku oleh karena itu tepat saat aku lulus dari SD mereka berdua sudah harus masuk di sekolah dasar. Aku hanya bisa bergelinang air mata saat aku melihat teman-temanku yang melanjutkan ke SLTP berangkat sekolah menunggu angkot di pertigaan jalan raya sementara aku berjalan merunduk membawa seutas tali, sebuah pikulan dan sebuah arit untuk mencari rumput berburuh pada bibiku. Saat itu aku sempat berkata kenapa sekolah seakan-akan hanya untuk orang-orang yang memiliki uang? Aku juga ingin seperti mereka yang berseragam, menggendong tas, tertawa bersama teman-teman dan memperoleh ilmu di sekolah. Aku tidak tau harus mengadu kepada siapa, aku tidak tega mendesak orangtuaku untuk menyekolahkanku apa lagi keadaan mereka yang sering bertengkar hanya karena hal-hal sepele yang ujung-ujungnya pasti masalah uang. Adik-adiku yang sering membuat ayah marah karena enggan saat disuruh belajar, aku bisa merasakan bagaimana perasaan adik-adikku, mereka pasti punya perasaan yang sama sepertiku, iri dengan tetangga-tetangga sebelah yang sudah memakai listrik rumahnya sementara dirumahku hanyalah dua buah lentera kecil dan dua buah sentir untuk penerangannya.


Dikala pagi aku harus tersiksa batinku saat melihat teman-teman yang berseragam sekolah, aku hanya bisa menangis dalam hati. Dikala siang terik matahari seolah sudah begitu bersahabat denganku bahkan hujan deras bercampur petir, berkabut tebal, menggigil, kedinginan sudah acapkali kulalui di tengah hutan saat mencari rumput ataupun kayu bakar demi membantu orangtua.

*) Bersambung di Part 2

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar