Malaikat Penuntunku
Penulis : Kuwatno
Penulis : Kuwatno
Mungkinkah
ini jalan takdirku…
Suratan-Mu
yang Engkau kehendaki
Buatlah
aku bersabar dengan semua ini…
Ku tau
Engkau mendengar
Jika
bukan sekarang,
Semoga
esok…
Jika
esok pun belum
Ajarilah
aku bersabar menunggu
Waktu indah
yang telah Engkau siapkan untukku.
Tak
sadar air mata Tata perlahan menetes dari kelopak matanya yang menggambarkan
sejuta harapan besar dalam hidupnya ketika ia menulis sebait puisi itu di bawah
redupan sinar lentera yang tergantung di kamarnya. Tata Prasetyo, itulah
sesosok remaja yang mendung kehidupannya dalam menatap cita-citanya yang
tinggi. Berangkat dari keluarga tak berada ia menjalani hidup dengan penuh
keterjalan, sandungan jalan kehidupan yang berliku namun ketegarannya tak
rentan ia tetap bersabar dan penuh keyakinan bahwa Tuhan Maha Adil. Di
tengah-tengah himpitan ekonomi orangtuannya ia menggembala kambing milik
tetangganya untuk memperoleh secercah riski berupa upah untuk membantu
orangtuanya dalam mencukupi kehidupan bersama adik-adiknya. Jemarinya kemudian
ia angkat mengusap air matanya. “Aku
harus kuat ya Allah,, sesungguhnya Engkau tak akan menangguhkan ini semua jika
hamba-Mu tak sanggup memikulnya” yakinnya dalam hati sembari buku coretanpuisi-puisinya
ia tutup dan meletakannya di tempat buku-buku nya selama SD dulu.
Hari itu begitu
terik, setelah ia selesai sarapan ia segera mentajamkan arit yang ia
gunakan untuk mencari rumput di hutan.
Sebuah bambu yang serupa dengan tongkat kedua ujungnya runcing ia taruh di atas
pundaknya dengan dua utas tali rotan yang nantinya Tata gunakan untuk memikul rumput setelah ia
dapat dari hutan. Keringat mulai tampak dari keningnya serta punggungnya yang
sudah basah kerna derasnya keringat ketika Tata mulai mendaki gunung menuju
hutan yang biasa ia tuju. Di musim kemarau seeprti inilah para pencari rumput
begitu kesulitan karena harus berjalan menuju kehutan yang amat jauh untuk
mencari sepikul rumput yang segar. “Alhamdulillah ya Allah,, Engkau masih memberi hamba kenikmatan menyapa
Alam ciptaan-Mu yang indah ini”,
gumamnya dalam hati smbil melepas lelah
setelah 2 jam perjalanannya dari desa. Angin bersiuk-siuk, pepohonan pinus yang
besar-besar serta alunan suara burung dari berbagai jenis burung yang merdu
saling sahut-menyahut seakan tengah bercanda tawa berbagi kegembiraan. Ingin
rasanya Tata mersakan kebahagian seperti itu bersama teman-teman sekolahnya
dulu yang sekarang mereka mampu melanjutkannya ke SMP.
Empat
jam ternyata telah berlalu begitu cepat, Tata telah selesai mengikat ruput yang
sudah ia kumpulkan dari tadi. Sejenak ia duduk setelah rumput sudah siap untuk
ia bawa pulang. Matanya menatap ke arah sebuah pohon pinus di sampingnya
sedikit jauh. Terlihat sepasang
burung kutilang yang tengah menyuapi anak-anaknya di sangkar yang begitu
sederhananya. Terlintas angannya sejenak menbayangan kehidupanya di rumah yang
tak harmonis, kedua orang tuannya yang jarang akur sehingga anak-anaknya
terabaikan dari kasih sayang mereka. “Andaikan ayah ibuku seperti mereka yang
begitu sayang kepada anak-anaknya,, ya Allah,, mungkinkah suratan-Mu, aku hanya
akan seperti ini hingga usai usiaku nanti? Berilah hamba jalan Ya Allah,, hamba
ingin sekali bisa melanjutkan sekolahku,
aku ingin mengapai cita-citaku ,, tak mungkin aku akan seperti ini terus
ya Allah”, bisiknya dalam hati, matanya masih tertuju pada pandangannya yang
awal“.
*Bersambung…
0 komentar:
Posting Komentar