Penulis adalah Hatta Bachtiar (Tata)_Kuwatno. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

CERPEN Marsih dan Jabang Bayi

Marsih dan Jabang Bayi

Malam kian menampakan eksisitensi diri  diiringi celoteh ratusan jangkrik, serta teriak para  kodok yang tengah kawin  ditepi kolam dekat rumahku. Sebenarnya terlalu mewah jika kukatakan sebagai rumah, sebab bangunan yang kutempati bahkan serupa gubuk sawah dekat kandang bebek kang Mahmud, tetangga desaku yang telah menduda sejak tahun 2003 karena gugat cerai atas dasar ketidakpuasan ekonomi yang dilayangkan istrinya ke Kantor Pengadilan Agama di Batarbarang, Rembang. Gubuk sederhanaku terbuat dari kayu, plastik, terpal serta beberapa lembar seng yang banyak karat serta berlubang, jika hujan tiba maka ia memberikanku tetes tetes terbaiknya, hingga aku terusik dingin gemerisik hujan yang bermain lompat lompatan menuju tanah dengan gaya terjunnya yang ekstrim tanpa parasut. Aku yakin benar, pasti sakit sekali rasanya jatuh menabrak bumi tanpa parasut, ditambah lagi harus mendarat di batu, kayu, atap, jalan, jembatan dan segalanya yang tak pernah seempuk kasur randu.
Hujan terkadang membuatku merasakan kemiripan takdir hidupku dengannya yang penuh hujat hina dari mulut penuh bisa orang sekitar atas kemelaratanku. Namun hebatnya,
hujan selalu mengajarkanku akan arti ketulusan sebuah pengorbanan atas kasakitan saat tetesnya terjun bebas tanpa parasut meninggalkan dekap kelembutan sang awan menuju bumi yang kasar untuk mengairi sawah, kolam, sungai , serta menyiram kebun milik warga yang bahkan terkadang menudingnya sebagai biang keladi hanyutnya padi di sawah tepi kali Karang. Malam kian larut berhiaskan awan kelam dan sinar bulan yang temaram tanpa bintang hingga berhasil meninabobokan istriku, Marsih yang tertidur tenang dengan balutan kain pemberian Yu Darmi dua bulan lalu yang agaknya sudah sesak  hingga berhasil membentuk perutnya yang membundar, istriku tengah hamil delapan bulan. Menatapnya, ialah keindahan tiada tara atas limpahan ketulusan cintanya dalam bahtera rumah tanggaku di gubuk sederhana. Agaknya, mataku menuntut hak untuk terpejam menyusul istriku yang tengah berkelana dalam alam mimpinya.
******
“ Aku berangkat dulu Marsih, jaga dirimu baik-baik, dan kau anakku, jangan nakal pada ibumu “, ucapku sembari mengelus sayang perut bundar istriku yang tengah mengandung buah hati  dalam 2 tahun usia perkawinan kami.
“ Hati- hati Mas “, jawabnya diiringi salam takhdzim kepadaku, serta kerlingan mata manjanya yang tak pernah berubah padaku.
Sabtu pagi yang cerah ini aku gembira sekali, karena aku telah seminggu bekerja sebagai kuli dalam pembangunan Monumen Tempat Lahir Panglima Besar Jenderal Soedirman di Desa Batarbarang, kecamatan Rembang, hari ini akan ada pembayaran upah sistem mingguan. Aku  sumringah, upahku nanti pasti besar, dan bukan sekedar uang recehan atau beberapa lembar ribuan usang dan lecek yang kuterima dalam upah panggul pasar. Aku berharap upahku akan cukup melengkapi tabungan demi persalinan istriku pada Mbok Lastri, dukun beranak tua yang selalu berhasil membantu persalinan para calon ibu. Konon katanya, Mbok Lastri memang tak pernah mematok tarif persalinan, tapi aku malu jika nanti tak mampu memberi sesuatu yang layak atas jasanya bagi kami. Semoga saja, upahku dapat kusisihkan untuk membeli rantang serta isinya berupa nasi, ayam, sayur, terik tempe, tahu, sambal dan lalapan  yang akan kuberikan pada Mbok Lastri dan beberapa lembar uang puluhan ribu dalam amplop yang kutempelkan ke tangannya selepas membantu bersalin Marsih tentunya. Ah, betapa indahnya waktu itu saat jabang bayi yang selama ini bersembunyi dalam budaran perut Marsih yang serupa semangka memekikkan tangisnya yang membahana serta menyemarakan gubuk sederhana kami.
                                                            ******
“ Kardjo, kau mampir  sajalah, nanti biar kau bisa makan dirumahku, kau belum makan kan ? Mumpung panen duit, biasanya istriku pasti masak enak. Hujan akan terus turun, jika perutmu kosong, nanti kau akan masuk angin, Ayo cepat ikut aku masuk “, ajak Pardi, rekan kerjaku di pembangunan monumen penuh antusias sembari menepuk bahu kananku.
“ Aku tak bisa Pardi, kasihan Marsih jika kutinggalkan ia dirumah sendirian terlalu lama, biar aku pulang langsung saja. Aku takut ia mengalami sesuatu, Assalamu’alaikum “ , jawabku pada Pardi sembari berlalu dari halaman rumahnya yang ditumbuhi pohon Rambutan yang tengah basah kuyup terguyur hujan. Marsihku, tunggulah kakang, hari ini dapur kita akan mengepulkan aroma masakan lezat yang lebih dari sekedar oyek dan singkong hambar kekurangan garam, sore ini mungkin akan ada dadar telur serta tumis kacang kesukaanku, gumamku lirih tak terdengar dengan tetap melangkah tergesa mencengkeram saku baju penuh lembar puluhan ribu yang hampir basah tersentuh hujan.
                                                            ******
Gubuk sederhanaku mulai terlihat dalam keremangan pandang. Rintik-rintik gerimis tengah giat membentuk butir- butir embun dalam setiap helai daun pohon Nangka yang sedang berbuah didepan rumahku.  Aku merasa ada keanehan, biasanya Marsih duduk di serambi rumah menyambut kehadiranku dengan senyum termanis serta kerlingan mata manjanya yang tak akan berubah padaku, tetapi sore ini  ia tiada, entah dimana.
Aku segera memasuki ruang makan, para cacingku sudah lama berteriak protes minta diisi. Kubuka tutup saji merah diatas meja bambo yang bawahnya agak berdebu, “ Alhamdulillah, ada ayam goreng dan sambal serta lalapan “, senyumku penuh syukur lalu bergegas menuju rak piring dit dapur.
“Astaghfirullohal’adzim “, aku berteriak dan terbelalak, dilantai Dapur dekat sumur kulihat banyak sekali darah segar yang berbau anyir amis sekali. Lalu aku teringat akan Marsih, fikiranku berpetualang mengimajinasikan segala yang buruk tengah terjadi pada Marsih, kubayangkan ia bersimbah darah dan membisu dalam rona yang beku, lalu para warga telah menandunya menuju perkuburan dekat gubukku yang sunyi dan akhirnya aku hanya meratap gundukan tanah baru berisi istriku dan si jabang bayi yang ku gadang- gadang untuk menjadi seorang Panglima Besar Jenderal Soedirman. Namun segera kutepis segala buruk sangka terhadapnya, kuyakinkan pada batinku, mungkin Marsih merasa kedinginan menungguku diserambi luar, atau mungkin ia tengah sibuk dengan masakannya di dapur atau ia tengah khusuk membaca mushaf Al qur’an surat Yusuf. Ustadz Ali pernah berpesan, agar keadaan ibu dan bayi sehat walafiat, maka banyaklah membaca Al qur’an, jika ingin laki-laki maka bacalah Yusuf. Dalam cerita tiap malam, Marsih berkata jika ia sangat mendambakan untuk melahirkan seorang bayi laki-laki agar bisa menjadi pribadi serupa Panglima Besar Jendal Soedirman yang hebat ,luar biasa, serta sarat dengan nilai religius.
  “ Marsih !!!! Marsih!!!!!”, seruku membahana ke segala penjuru hingga serak, tapi tetap saja tiada jawaban.
Kepanikanku memuncak, dengan tergesa kubuka tiap daun pintu, kumasuki tiap ruang gubuk sederhana kami yang lantai tanahnya tergenang air hujan, namun hasilnya nihil. Tak kudapati Marsih disana.
Hingga akhirnya, kutemukan ia justru tengah tertidur pulas di kamar dengan mukenanya sembari mendekap mushaf Al Qur’an surat Yusuf. Kuhampiri ia, lalu kucium keningnya penuh kasih tiada berperi. Jam dinding menunjukan pukul 16.45 WIB, dengan hati-hati kutinggalkan ia untuk melanjutkan makan lalu segera menunaikan Sholat Ashar di detik-detik terakhir waktu sholat.
                                                            ********
“ Allahu Akbar “, kuangkat kedua tanganku mantap guna melakukan takbirotul ikhrom.
Dan akhirnya kurasakan kini, betapa Alloh SWT telah menunjukan keagungan, dan kebesaran Nya menjaga Marsih dan jabang bayiku untuk tetap bersamaku dalam gubuk sederhana kami di suatu desa yang terasing dari hiruk pikuk kota.


                                                                  *** Sekian***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar