Penulis adalah Hatta Bachtiar (Tata)_Kuwatno. Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

CERPEN Cinta Tak Harus Memiliki

Cinta Tak Harus Memiliki
Penulis : Kuwatno (Tata)

Di malam minggu yang melelahkan ini sepulang dari kegiiatan MPP (Masa Penghayatan Penggalang) Iwan masih duduk terpaku dan berteman pilu di Sanggar sendirian, hanya angin dan dingin yang menyapanya yang merasuk ke sendi-sendi tulangnya hingga membawa Iwan ke alam keheningan karena  semua teman sudah pada pulang. Baru saja Iwan dan teman-teman panitia MPP mendapat cacian dari wali murid karena proses pemulangan peserta sampai larut malam. Ditambah lagi dengan kondisi fisiknya yang kurang sehat dan batinnya yang tengah risau memikirkan Rani. Ani Raswarani yang akrab di panggil Rani adalah sesosok wanita anggun dan solehah yang Iwan harapkan  kelak bersamanya meniti titian kehidupan, yang sekarang Rani tengah jauh di sana. “Mungkinkah Rani juga sedang merasakan  keresahan seperti apa yang kini aku rasakan”, gumamnya dalam hati. Angannya terus melayang akan Rani yang benar-benar ingin Iwan temui.


*********
Antara Purbalingga dan Tlahab di mana Rani tinggal di sana, dengan jarak yang lumayan jauh. Di sinilah Iwan bingung dengan apa yang sudah ia sampaikan kepada orang tua Rani tentang ketidak mampuannya memberikan kepastian tentang keseriusan hubungannnya dengan Rani, meskipun sebenarnya Iwan benar-benar mencintainya sepenuh hati dan ia yakin bersamanya kelak kan mendayung melewati samudra kehidupan. Oleh karenanyalah Iwan tidak ingin tergesa, ia ingin menyiapkan semuanya secara matang. Namun semenjak kejadian itu Iwan sendiri tak tahu apakah ada kecewa di benak orangtua Rani ataukah tidak tetapi yang terjadi setelah itu nomor Handphone Rani sulit untuk ia hubungi, begitujuga dengan nomor orangtua Rani. Tak mungkin lagi sekaranng ia menyapa Rani lewat telefon ataupun sms. Ia coba kirimkan satu salam rindunya yang  ia terbangkan bersama angin malam yang menyapanya. Namun benarkah salam ini kan sampai? Tak sadar air mata menetes dari matanya.

“Ran, akankah kamu tahu bahwasanya aku ingin berjumpa denganmu? Entah telah berapa banyak hitungan waktuku yang terusai hanya karena anganmu. Apakah kau juga merasakan seperti apa yang di sini aku rasakan?” Pandangannya kosong dan tak terarah, bukan saja matanya tapi hatinya pun menangis terisak penuh haru karena rindu yang begitu menderu.

*********
Minggu pagi, kicau burung-burung yang asyik bercengkrama, bermain, berterbangan, meloncat dari dahan ke dahan, sesaat mereka terbang tinggi dan jauh tetapi kembali hinggap ke dahan. Betapa cerianya mereka, serasa tak ada beban dikehidupannya. Harusnya Iwan juga begitu, dapat dengan mudahnya menghempaskan pernak-pernik hidup yang Iwan tempuh ini.

Saat ini Iwan masih berada di Sanggar Pramuka sendirian membereskan barang-barang yang masih berserakan semalam, ia hendak mencoba menghubungi panitia yang lain tapi ia rasa dirinya bisa melakukannya sendiri sekalian ia jadikan kegiatan sejenak agar ia mampu melupakan sedikit masalahnya.

*********
Sesaat setelah Iwan mandi menyegarkan tubuhnya, ia berdiri di depan cermin di samping pintu sanggar Pramuka yang setengah terbuka. Iwan menatap wajahnya sendiri, berusaha menciptakan senyum sebagai tanda semangat untuk memulai harinya kembali.  “Semangat,..!! kau tak boleh jatuh terpuruk seperti ini, Iwan! Masih banyak waktu yang dapat kau isi agar hidup ini lebih bermakna”. Ia berbicara sendiri di depan cermin sambil menyentuh bayangan wajahnya.
“Hari ini, aku harus bisa bertemu dengan Rani, Harus!! Jangan kecewakan hatimu Wan!”. Gumamnya dalam hati.

Setelah solat duhur, Iwan bergegas pergi dari Sanggar pulang ke Tlahab. Dengan kelesuan dan kersahan yang sudah penat menyelimuti pikirannya, ia coba beranikan diri mencari jawaban tentang kekhawatirannya tentang bagaimana keadaan Rani sekarang di sana. “Ran, aku ingin menemuimu, aku mau jelasin ke kamu maksud dari semua yang pernah aku sampaikan di depan mama kamu, aku takut kamu salah mengartikan ini semua”, pikirnya sedikit tenang, sambil berdiri berdesak dengan penumpang lain di dalam bus. “Semoga ini belum terlambat”.

*********
Begitu ramai di depan rumah Rani, banyak orang di sana. Terlihat pula mobil Xenia merah berpelat B terparkir di samping kiri rumah Rani, latar yang biasanya untuk bermain anak-anak di situ. “Ada apakah gerangan? Tak seperti biasanya seperti ini dan siapaka orang yang sedang bertamu di sana? Kelihatannya asing bagiku belum pernah satu kalipun aku pernah bertemu dengan mereka”, gumamnya dalam hati seketika ia sampai di Tlahab dan melangkah menuju ke rumah melewati jalan depan rumah Rani. Perasaannya positif saja, mungkin mereka keluarga Rani yang jauh datang bersilaturahmi ke situ.
“Looh… Acaranya ntar malem malah baru pulang Wan?”, seorang Ibu tetangga Iwan tiba-tiba saja bertanya kepadanya ketika ia hendak membelok masuk ke gang rumahnya. “Iya Bu, tadi masih ada acara di Sanggar sama temen-temen jadi pulangnya sorean. Emangnya ada apa ya Bu, kok nannyanya kaya gitu? Acara apaan si Bu?”, Jawab Iwan binggung tak mengerti maksud apa yang sebenarnya ibu itu sampaikan. “Koh malah nanya acara apa. Emangnya Kamu gak di undang acara tunangannya Rani nanti malam?, jawab ibu tadi memperjelas maksud dari apa yang baru saja ia katakan. Sekejap setelah Iwan mendengar itu, tak kuat raganya berdiri untuk tegar, dunia terasa gelap bagaikan awan mengulung-gulung hendak menghantamnya. Kata-kata itu tak kuasa ia terima. Kenyataankah yang baru saja Iwan dengar ataukah sekarang Iwan tengah terlelap tidur dan terbawa arus mimpi karena kehawatirannya pada Rani? Sungguh pertannyaan itu telah meremukan kepingan-kepingan asa yang selama ini perlahan sudah Iwan tata kembali setelah sebelumnya berantakan karena masalah keluarganya sendiri. Sekarang hancur luluh tercecer lagi, bimbang hati apa yang harus ia perbuat. “Secepat inikah Rani mengambil keputusan seperti ini?,  secepat itukah Rani melupakanku?”, teriak tangis dalam batin Iwan. Cinta memang tak selamanya indah, jika apa yang ia dengar tadi adalah yang terbaik untuk Rani apalah yang bisa Iwan perbuat. “Namun apalah arti cinta kita selama ini bila aku tak bisa memilikimu Ran, apalah arti cinta kita selama ini bila pada ahirnya kita takan menyatu. Sesulit inikah liku-liku jalan takdirku yang tak inginkan aku bahagia berada di sampingmu”. Rintihnya dalam hati sambil menahan tangis kepiluan, “Jika memang aku tak berujung denganmu biarkan kisah ini aku kenang menjadi pengalama cintaku yang pahit karena takan mudah bagiku meninggalkan jejak hidupku yang telah terukir”. Ternyata cinta mudah saja berubah secepat ini menjadi sakit, seperti yang Iwan rasakan, kini tinggal kehancuran. tak pernah ia membanyangkan dan tak pernah terfikifkan cintanya bersama Rani akan kandas seperti ini. Memang benar-benar pilu, airmata kepedihan itu memang benar ada dan singgah di hati Iwan. Tak kuasa melanjutkan percakapannya dengan ibu tadi Iwan langsung berjalan cepat ke rumah.

*********
Sehabis solat isa di masjid sengaja Iwan pulang paling akhir sendiri. Pikirannya masih diselimuti memikirkan apa yang dikatakan ibu tadi ketika Iwan baru saja sampai di gang rumahnya. Setengah delapanan Iwan meninggalkan masjid dan ia sengaja beranikan diri pulang lewat depan rumah Rani. Ternyata benar apa yang disampaikan ibu tadi, acara pertunangan Rani dengan calon suaminya berlangsung malam ini. Iwan pulang dengan perasaan yang benar-benar hancur, terpukul, pilu nafas tersenggak-senggak sesak tak kuasa, mendungnya mata meneteskan airnya, deras tak terbendungkan lagi. Ternyata apa yang ia khawatirkan selama ini semenjak  ia tak mampu memberikan kepastian itu benar-benar terjadi. Hatinya sungguh sangat berat untuk merelakan kenyataan ini. Serasa tak ada kekuatan dalam hidupnya, asanya hilang tinggalah untuk Iwan serpihan kenangan indah dulu bersamam Rani yang teringat menambah derasnya aliran air matanya kini.

*********
 Dini hari sehabis solat subuh Iwan bergegas meninggalkan Tlahab, ia kembali lagi ke Purbalingga dengan harapan ia gak terlarut dalam kepiluan ini, tapi apa mau dikata fikirannya tak bisa sejenakpun berhenti memikirkan hal ini. Ia coba menghubungi sahabat dekatnya, sahabat curhatnya. “Halo Ken! Temui aku ya di tempat biasa, aku butuh kamu banget”, lansung Iwan  sampaikan maksudnya kepada Niken  seketika setelah pesawat telepon dari ujung sana diangkat. “Ya Wan. Ada apa si gubres banget baru aku angkat langsung ncrocos gituh. Salam dulu kek!”,jawab Niken dari ujung sana. “ Iya maaf Ken. Ada yang ingin aku omongin sama kamu, Importen. Pliss bisa ya! Aku tunggu. Assalamu’alaikum”.

*********
“Ada apa si Wan? Gak sepeti biasnya kamu mendadak seperti ini untuk ketemu? Mukamu pucat tahu Wan”, kata-kata Niken sedikit khawatir dengan keadaansahabatnya itu “sekarang tenangkan hati kamu setelah itu ceritakan semuanya sama aku! Aku akan ada untukmu Wan, berbagilah kesedihanmu denganku”. Niken dengan segenap empatinya kepada Iwan yang sedikit  melegakan hati Iwan. “Rani Ken,, Rani… Rani dah jadi milik orang lain, Ken,” aku jawab terbata-bata hampir tak sanggup aku luapkan cerita sedih ini ke Niken. Bagaimana mungkin Rani… Rani milik orang lain, Wan?, Tanya Niken penuh penasaran.”Iya Ken, kemarin aku pulang ke Tlahab dikagetkan dengan acara pertunangan Rani  dengan laki-laki lain”, jawab Iwan pelan, isak airmatanya hadir kembali menetes di situ yang menjadi saksi kesedihan dan menambah sesak batinnya. “Kamu yang sabar ya Wan! Mungkin di samping laki-laki itulah Rani akan menemui kebahagian yang lebih dan percayalah kamu akan mendapatkan wanita yang lebih baik pula darinya”, Niken mencoba meredam kesedihan Iwan dengan kata-kata bijak itu. “lebih baik kamu temui dia sampaikan apa yang ingi kamu sampaikan ke dia” tambahnya.

*********
Tak disengaja Iwan bertemu dengan Rani di depan sebuah masjid Agung di Bobotsari ketika ia mampir solat asar dulu sebelum melanjutkan perjalanannya pulang setelah tadi  banyak bercerita dengan Niken. “Rani…? Benarkah ini dirimu?”, tannya Iwan nyaris tak percaya bisa bertemu Rani di sini. “Assalamu’alaikum Mas. Ya ini Rani Mas, Maafkan aku Mas! Sudah lama nomor aku gax bisa dihubungi dan ada satu hal yang belum aku sampaikan ke Mas…..”. Belum selesai Rani menyampaikan maksudnya Iwan kemudian memotongnya, “Wa’alaikumsalam Ran. Aku sudah tau apa yang mau kamu sampaikan”. Tak kuasa perlahan air mata menetes dari mata wanita yang penuh kesabaran itu, “ jika aku menggoreskan luka di hati Mas, Mas harus tau ini semua bukan niatku. Biarlah semua ini menjadi titik ahir cinta kita Mas. Ini adalah ujuan bagi Mas, bagi kita,  bersabarlah! Ku harap apapun yang terjadi Mas Iwan dapat menerimanya dengan lapang. Haruslah Mas Iwan tahu, di dalam hati ini aku juga merasakan sakit yang begitu mendalam, mungkin lebih sakit dari yang Mas rasakan. Hatiku hancur beribu keping dan tak dapat terkumpul lagi.  Jangan kecewakan aku dengan cintamu Mas. Mas pasti bisa menjalani semua ini. Aku harap Mas Iwan bisa hadir di pernikahanku dengan segenap senyum untuk membuatku sedikit bahagia dengan senyum tulusmu Mas”. Iwan pun tak kuat menahan air matanya, keduanya menangis. Tak mampu lagi mulut Iwan berkata-kata, kali ini benar-benar kenyataan yang ia dengar langsung dari Rani, Rani kemudian lari menuju ke mobil merah yang terparkit di area depan masjid itu, ya… mobil yang kemarin dilihat Iwan di samping rumah Rani ternyata iu milik calon suaminya.

*********
Kini Iwan jadi makin banyak melamun, hari-harinya kosong menunggu pesta pernikaha yang kan mengiris-iris hatinya.
“Bertahun lamanya kutanam bunga, tapi mekar di taman orang. Bertahun lamanya bunga kupuja, mekarnya dipetik orang”.
Di saat itu Iwan benar-benar sangat terpukul hatinya, dengan ratapan nasib yang menghujam hati dan cintanya. Ia menanti dan menungu hari itu hingga datang di depan matanya yang semakin nanar. Deru nafasnya yang semakin cepat di  antara malam tanpa bintang-bintang, terasa pedih dan sangat pedih sulit baginya membimbing air matanya agar tidak mengalir. Ia sendirian di antara kelam di antara duka, seakan Ia sudah lupa rasanya senang, bahagia, riang ataupun gembira, mungkin karena sekarang Ia selalu dalam rasa sakit, lemah meniti sebuah harapan yang sudah musnah, rasa sakitpun sudah terlalu akrab dengannya.

*********
Pagi ini air mata Iwan jatuh menetes, entah sedih bahagia atau apapun itu. Ia masih terlalu lemah untuk merasakan dan memerima kenyataan ini, namun yang pasti ia harus tetap semangatdan tak boleh menampakan kesedihan karena hari itu benar-benar telah sampai di hadapan Iwan. Rani dan Calon suaminya itu tengah duduk berjejer di pelaminan setelah penghulu menikahkan keduanya. Iwan duduk di salah satu kursi yang khusus disediakan untuk para undangan, Iwan menatap mereka dari jauh, perlahan airmata di kelopak tak terbendung, berlinang di kedua pipinya. “Rani… benarkah itu kau?” sedikit mengusap airmatanya. Sesaat setelah itu ia lalu beranjak dari duduknya dan perlahan berjalan menuju pengantin yang di pelaminan itu. Ia memberikan selamat kepada keduanya.
 “Selamat ya Ran,… Berbahagialah,… aku tak mau melihatmu sengsara, semoga Allah selalu melindungi kalian berdua, menuntun kalian berdua di jalan-Nya yang benar, semoga Allah memberimu yang terbaik, Ran”. Rani hanya tersenyum menahan airmatanya. Iwan hanya bisa pasrah. Dia berbisik pada laki-laki yang sudah resmi menjadi suami Rani,
“kutitipkan kepadamu, kawan. Bahagiakanlah Rani, dialah yang paling aku sayang”
“Selamanya cinta kan bersemi di hati. Maafkan jika pada akhirnya ada yang terluka karena hadirku. Percayalah Rani kan bahagia bersamaku”
“ya, kupercayakan Rani kepadamu”
“Bersabarlah,.. belajarlah menerima kenyataan. Dari itu baru kau tau apa sebenarnya makna cinta sejati. Kupercaya hatimu kan agung menerimanya” Lelaki itu memberi nasihat dan semangat kepada Iwan.

 Dengan semangat baru meski masih pekat rasa luka dikalbunya, Iwan berpamitan pulang. Ia sadar ia tak boleh lemah seprti ini dan benar kirannya apa yang telah disampaikan sahabatnya, Niken. Wanita di dunia bukanlah Rani seorang dan masih bayak di luarsana yang seanggun Rani bahkan mungkin bisa lebih baik. Kini Iwan dan Rani harus menjalani kehidupannya masing-masing dan telah menerima kenyataan yang sebenarnya bahwa cinta tak harus memiliki.

Kehidupan dunia ini tidak lain kecuali permainan dan hiburan, sedang kampung akhirat itulah hidup yang sebenar-benranya, andai mereka mengetahui.
(Al-Ankabut : 64)

The End.
Happy Reading. :)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar